RSS

INTERNET: MEDAN PERANG AQIDAH

INTERNET: MEDAN PERANG AQIDAH
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf
Islam, IPTEK dan IT
Jika dicari agama yang paling siap dengan perkembangan IPTEK, maka Islam-lah jawabannya. Hal ini tentu saja bukan sekedar klaim, tetapi didasarkan pada beberapa hal, di antaranya: 1.Kata pertama dalam wahyu pertama yang turun adalah Iqra’ (bacalah). 2. Ada banyak ayat yang secara tersurat atau tersirat bersinggungan dengan masalah ilmiah. 3. Kata ilmu dan derifatnya adalah kata yang sering disebut dalam Al Qur’an. Meski demikian Al Qur’an bukanlah buku ilmiah, ia adalah kitab suci dengan fungsi utama sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Perkembangan super cepat IPTEK belakangan ini seperti keping koin yang punya dua sisi wajah. Sisi positifnya adalah kemudahan-kemudahan hidup, contoh paling nyata adalah bidang komunikasi. Sedangkan sisi negatifnya adalah tidak diimbanginya perkembangan IPTEK oleh pranata sosial termasuk agama. Agama apapun termasuk Islam yang sebenarnya punya energi potensial dalam kuantitas yang melimpah bagi berkembangnya IPTEK, terkesan lambat dan kepontal-pontal mengantisipasi perkembangan IPTEK. Dalam arti pranata sosial termasuk agama bisa dianggap kurang berhasil dalam menekan sisi negatif dan mendorong sisi positif perkembangan IPTEK. Bisa juga dengan makna munculnya temuan dan atau inovasi IPTEK yang dijiwai agama kalah jauh dengan perkembangan IPTEK sekuler yang bebas nilai. Sejak renaissance IPTEK dan agama tak lagi bisa berjalan beriring, dalam banyak kasus malah terjadi pertentangan hebat antar keduanya.
Dari banyak bidang temuan dan inovasi IPTEK, perkembangan bidang Tekhnologi Informasi bisa disebut paling dahsyat. Berbeda dengan bidang lain-tekhnologi antariksa misalnya- yang tidak berkait langsung dengan kehidupan sosial, bidang IT berkait dengan kehidupan masyarakat modern detik demi detiknya. Siapa sih yang sekarang tidak akrab dengan HP, TV, internet? Kecuali masyarakat terbelakang dan atau suku terasing. Ini pula kiranya yang menyebabkan temuan dan inovasi bidang IT bisa begitu dahsyatnya. Yaitu ketika masyarakat menjadikan informasi dan komunikasi sebagai kebutuhan “primer” memicu giatnya aktifitas riset oleh pebisnis di bidang IT akibat persaingan antar perusahaan. Jika ingin eksis dan berkembang, suatu perusahaan di bidang IT harus rela merogoh koceknya hingga dalam untuk biaya riset dan rekrutmen tenaga ahli.
Persaingan Global & Urgensi Skill IT
Bagaimana dengan kita? Umat Islam sebenarnya diberi anugerah berupa sumber daya alam melimpah, di negeri-negeri muslim Allah memberi bekal hidup bagi penduduknya dengan kekayaan alam beraneka tambang dan atau kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati. Tetapi ternyata dalam kehidupan modern Sumber Daya Alam saja ternyata tidak cukup, dibutuhkan hal lain agar SDA mampu memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat yaitu penguasaan IPTEK dan sifat amanah bagi pengelola pemerintahan. Dua masalah ini yang saat ini menjadi problem besar bagi hampir semua negeri muslim.
Sebagai generasi muslim apa yang bisa kita lakukan? Ada baiknya kita persempit lingkup pembahasan perkembangan IPTEK pada bidang IT dengan Internet sebagai fokus pembicaraan kita. Alasan utama di antaranya adalah 1. Hampir semua capaian peradaban umat manusia saat ini bisa diakses via internet, dengan demikian ketika kita bisa memanfaatkan Internet secara maksimal kita bisa melakukan lompatan-lompatan tahapan dalam mengejar ketertinggalan kita dari komunitas lain. 2. Semua pendataan terkait nyaris seluruh aspek kehidupan saat ini dan apalagi di masa yang akan datang memanfaatkan internet. Dengan demikian ketika kita menguasai keahlian di bidang ini, kita punya banyak peluang dalam persaingan masyarakat global. Rekrutmen Beasiswa Mahasiswa adalah contoh nyata dalam masalah ini. 3. Masalah efesiensi dana. Adalah kenyataan bahwa internet telah mampu memangkas anggaran yang dibutuhkan oleh suatu proyek kegiatan. Dengan keahlian di bidang IT suatu perusahaan, lembaga dan juga perorangan bisa menghemat demikian banyak anggaran yang dibutuhkan. Pemetaan suatu kawasan bisa dengan mudah kita lakukan dengan memanfaatkan program Google Eart. Seorang siswa dengan mudah bisa download Buku Elektronik. Padahal jika pemetaan dilakukan secara manual dan buku harus dibeli dalam wujudnya yang asli buku, akan membutuhkan dana yang berlipat.
Sisi Negatif Globalisasi
Meskipun demikian sebagai produk peradaban internet tidaklah stiril dari sisi negatif. Konsekwensi dari kemajuan IT adalah hilangnya sekat dan batas dari konsep negara bangsa dalam hal arus informasi, atau biasa disebut dengan globalisasi. Istilah “Dunia dalam saku” bisa digunakan untuk mendeskripsikan secara singkat perihal “kecilnya dunia” akibat globalisasi. Dalam arti bahwa hanya dengan sebuah HP saat ini orang bisa menjelajahi dunia dan atau mengakses data dari belahan dunia manapun. Akibatnya adalah budaya, nilai-nilai sosial, ideologi, yang dianut oleh seseorang, kelompok, komunitas atau suatu bangsa bisa dengan mudah mempengaruhi dan atau diikuti pihak lain, meski secara geografis dua pihak tersebut sebenarnya berjauhan lokasi. Seakan mengikuti hukum fisika bahwa air bergerak dari tempat tinggi ke rendah, demikian pula gerak arus budaya bergerak dari pihak berbudaya tinggi ke pihak dengan level budaya lebih rendah. Sementara tinggi rendah budaya nampaknya identik dengan tinggi rendah peradaban. Inilah jawaban mengapa budaya barat sangat mudah ter-ekspansi ke masyarakat dunia. Karena untuk saat ini memang baratlah bangsa dengan peradaban tertinggi. Dari sinilah sisi negatif Internet dapat kita pahami alurnya. Yaitu ketika masyarakat kita terutama kaum muda terpengaruh dan atau meniru budaya hidup bangsa barat seperti yang mereka ketahui via internet. Padahal banyak produk budaya barat yang tidak sesuai dengan bangsa kita. Pornografi, free sex, Liberalisme dan lain-lain adalah beberapa contoh yang bisa dikemukakan. Keadaan diperparah dengan penta’wilan modernisnisasi sebagai westernisasi, dalam arti bahwa modernisasi yang seharusnya ditafsiri sebagai upaya untuk mensejajarkan diri pada peradaban tertinggi terutama dalam penguasaan IPTEK dita’wil (dibelokkan maknanya) pada duplikasi budaya barat. Yang banyak terjadi adalah budaya negatifnya sudah tercerap sedangkan IPTEK dan budaya positifnya tidak. Sekedar contoh saat ini kita masih harus berpuas diri menjadi konsumen dari banyak produk barat dalam bidang IT. Kita juga belum bisa meniru banyak tradisi positif dari masyarakat barat seperti tingginya etos kerja, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu, prestasi dan profesionalitas. Begitu pula kita belum bisa meniru bangsa barat dalam hal tradisi ilmiah. Tetapi justru tradisi pergaulan bebas dan pakaian minim telah ditiru demikian banyak masyarakat kita.
Satu hal yang harus diingat adalah kenyataan bahwa sangat sulit bagi kita saat ini untuk keluar dari komunitas masyarakat global. Dengan demikian pilihan untuk menyelamatkan diri dengan memutuskan hubungan dari dunia luar, misalnya dengan menolak sama sekali internet adalah pilihan yang tidak bijak dan sangat kontra produktif. Karena bisa berefek pada semakin tertinggalnya kita dari percaturan masyarakat dunia. Satu-satunya pilihan masuk akal adalah filterisasi yaitu dengan mengambil dan memanfaatkan materi positif dan membatasi serta membuang materi negatif, baik di tahapan akses maupun di tahapan setelahnya. Di tahapan akses dilakukan di antaranya dengan mengaktifkan sensor kontens, memantau dan atau mendampingi anak saat akses. Tentu saja hal-hal di atas disesuaikan dengan usia dan tingkat pendidikan anak. Sedangkan pasca akses dilakukan dengan memantau isi fail flashdisc, komputer atau laptop anak secara periodik dan memantau karakter religiusitas anak. Harus dimengerti bahwa pengaruh negatif internet tidak hanya pornografi dan semacamnya, tetapi juga ideologi menyimpang, termasuk di dalamnya ideologi berlabel Islam padahal sebenarnya dalam hal substansi jauh dari karakter Islam seperti diajarkan Rasulullah, para Sahabat dan mayoritas masyarakat muslim dunia. Tumbuh suburnya radikalisasi agama di tanah air belakangan ini di antaranya memang memanfaatkan internet sebagai media penyebaran. Banyaknya kalangan terpelajar yang menjadi simpatisan organisasi Islam radikal menjadi semacam pupuk bagi kian suburnya perkembangan ideologi dimaksud, karena mereka adalah kelompok melek teknologi yang punya kompetensi untuk menyebarkan pemikiran paham mereka melalui internet.
Perang Aqidah
Sebagai sarana penyebaran informasi yang murah, praktis,berjangkauan luas dan nyaris tanpa sensor, internet tentu saja dimanfaatkan oleh semua kalangan yang berkepentingan dalam mendakwahkan ide dan pahamnya. Perusahaan, organisasi, lembaga pendidikan, partai politik dan juga perorangan memanfaatkan jasa internet untuk kepentingan interaksi, komunikasi, sosialisasi dan pengiriman data. Pegiat agama -apapun- juga memanfaatkan internet bagi aktifitas dakwahnya. Begitu pula firqah-firqah dalam Islam (lebih tepatnya personal dengan kecenderungan faham firqah tertentu), Ormas, Harakah atau apapun namanya yang bermaksud melakukan propaganda dan ekspansi keanggotaan saat ini hampir pasti memanfaatkan internet. Sehingga jika kita melakukan penelusuran melalui kata kunci dengan memanfaatkan Google misalnya, taruhlah kita mencari pembahasan tentang “Bid’ah” maka kita akan mendapati banyak tulisan seputar tema dimaksud dari berbagai paham keagamaan yang ada. Yang tulisan satu dengan lainnya bisa berseberangan secara tajam. Tak jarang cercaan yang memanaskan telinga seperti kufur, syirik dan semacamnya ditujukan kepada pihak lawan polemik. Bisa dikatakan saat ini benar-benar telah terjadi semacam perang aqidah melalui internet. Ada yang memang ditulis secara baik dengan mencantumkan kitab/buku yang dijadikan rujukan, sistematika yang bagus yang memenuhi syarat untuk masuk katagori ilmiah, ada pula yang asal-asalan dengan modal nekad (bonek), mereka ikut nimbrung di polemik keagamaan hanya dengan modal semangat, fanatisme berlebihan, dan sedikit hafalan ayat atau hadits tanpa dibekali dengan keilmuan penunjang lainnya. Parahnya justru jenis kedua ini yang dominan mengisi situs-situs di internet.
Kasus Indonesia
Di Indonesia untuk penggunaan internet sebagai sarana propaganda penyebaran faham, bisa dikatakan kelompok-kelompok puritan Islam mendominasi, dalam arti tulisan-tulisan mereka tentang Islam (tentu saja versi mereka) lebih banyak dari pada lawan polemik mereka dari kelompok Asy’ariyah-Maturidiyah (ASWAJA). Padahal dari segi kuantitas keadaannya terbalik. Alasannya bukan karena faktor unggul - lemah dari segi argumentasi tetapi dari tradisi dakwah yang dimiliki. Kelompok Puritan -karena umumnya dari kalangan terpelajar- telah memiliki divisi dakwah yang termenej dengan baik. Dengan anggota yang telah paham teknologi Informasi, akses internet adalah hal biasa dalam kehidupan keseharian mereka. Sedangkan dari kelompok ASWAJA yang sebenarnya jauh lebih unggul dalam kuantitas belum didukung dengan manajemen dakwah yang bagus. Begitu pula, basis keumatan (baca: Masyarakat Desa)dan pendidikan (baca: Pesantren) dari umumnya pengikut ASWAJA adalah dari kalangan yang kurang akrab dengan IT terutama Internet. Padahal dari segi potensi argumentasi, ASWAJA tentunya lebih unggul karena memiliki tradisi keilmuan yang mapan. Khazanah keilmuan yang melimpah dari ASWAJA dan lulusnya pemahaman keagamaan mereka dari ujian sejarah dan perjalanan waktu adalah modal sangat besar bagi mereka dalam pertarungan ideologi, termasuk melalui Internet. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh negeri jiran Malaysia. Perang idiologi antar firqah Islam via internet di negeri yang sering bermasalah dengan Indonesia ini berhasil didominasi kelompok ASWAJA. Tulisan –tulisan materi ke-Islaman dari perspektif ASWAJA serta pembelaan ajarannya banyak ditulis dan dipostingkan oleh Muslim Sunni Malaysia. Kontrol yang relatif lebih kuat dari pemerintah terhadap perkembangan kelompok radikal bisa jadi menjadi sebab tetap dominannya ASWAJA di Malaysia dari sisi kuantitas pengikut maupun diskusi idiologis via internet. Sedangkan di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru, nyaris tidak ada kontrol sama sekali terhadap perkembangan ajaran agama maupun pemikiran. Pihak berwenang memang dalam posisi dilematis, karena bertindak bisa dicap sebagai melanggar HAM, maka untuk sementara membiarkan terpaksa dilakukan. Upaya “pembiaran” ini tentu saja dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok sempalan, puritan dan radikal untuk mengembangkan sayapnya. Pernyataan ini juga menjawab pertanyaan mengapa di Indonesia bisa tumbuh subur Terorisme, sedangkan di Malaysia tidak.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS