RSS

MIMPI DI LIRBOYO (1)

MIMPI DI LIRBOYO (1)
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf
Salah satu yang menjadi kenangan dari 5 tahun nyantri di Lirboyo adalah mimpi-mimpi yang bermakna. Mimpi-mimpi yang -jujur saja- saat ini saya rindukan untuk terulang kembali, bukan mimpinya yang terulang, tapi bahwa mimpi merupakan isyarat, punya makna, tak sekedar bunga tidur yang hampa pesan, karena sungguh saya merasa sejak kepulanganku dari pondok mimpi-mimpi tak lagi punya makna, mimpi yang bagi saya tak lebih dari bunga tidur. Berikut beberapa mimpi yang saya alami ketika di Lirboyo, yang ternyata mengandung semacam isyarah terkait hal penting bagi diri saya kala itu:
Habis shalat malam, saya I’tikaf dalam masjid, duduk di shaf pertama, di luar kendali sayapun tertidur dalam posisi duduk, lantas bermimpi sebagai berikut: “Ada sekitar empat santri termasuk saya, tak ada yang saya kenal, duduk membuat semacam halaqah kecil mengitari tumpeng, di serambi selatan. Mbah Kyai Idris di sebelah barat, berjubah dan berserban putih memimpin acara tahlilan. Usai tahlilan Mbah Kyai membagikan tumpeng kepada santri. Masing-masing dari 3 santri diberi urap (kulub daun ketela yang dikrawu dengan sambal kelapa). Tiba giliran saya yang merupakan giliran terakhir Mbah Kyai memberi potongan ingkung yang beliau tarik pisahkan dengan kedua tangan beliau, tanpa pisau”. Saya terjaga masih dalam posisi duduk, beragam perasaan berkecamuk, harap, cemas dan penasaran menjadi satu. Saya punya harapan positif, karena -meski tidak ahli dalam ta’wil mimpi- mengingat isi mimpi -di mana saya dikhususkan dari santri yang lain- Insyaallah merupakan isyarat akan terjadinya hal positif pada diri saya. Sedangkan kecemasan muncul ketika perasaan bergumam,”ah..., jangan-jangan mimpi tadi tak lebih ari bunga tidur yang tak mempunyai arti apa-apa”. Sementara rasa penasaran berkecamuk ketika hati menanyakan, “apa yang bakal terjadi dengan saya?, Jika ini mimpi yang bermakna, makna apa yang diisyaratkan?”. Semua pertanyaan seputar mimpi tersebut terjawab besok paginya.
Hari itu masih pagi sekali, masih gelap, saya baru bangun dari tidur, mau berangkat ke kamar mandi. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar saya Q 20 atau biasa disebut Gua Auliya, kamar Nganjuk yang ada di bagian selatan lokasi pondok, dekat Gedung Al Ikhwan dan Al Ihsan. Ketika saya bukakan pintu sambil menjawab salam, seorang santri yang belum saya kenal menyampaikan secara singkat maksud kedatangannya. “Kulo diutus Pak “S”, mangke ba’da shalat subuh njenengan dipun aturi dateng kamaripun”, tamu menyampaikan dengan sangat sopan. Saya kaget, “ada apa ini?, apa salah saya?”, pertanyaan semacam di atas terus bergelayut di pikiran saya. Pertanyaan muncul karena dalam beberapa bulan ini saya merasa ada masalah dalam hubungan saya dengan Pak “S”, salah seorang mustahik saya. Ketika di kelas, juga dalam beberapa kegiatan yang mempertemukan saya dengan beliau, wajah beliau terlihat masam, tidak suka dan cenderung sinis. Saya sudah berkali-kali mencari penyebabnya, saya berulang kali melakukan semacam introspeksi, saya merasa tidak nyaman dengan kondisi semacam ini. Bagi seorang santri keadaan semacam ini bisa dianggap sebagai masalah besar karena terkait dengan ridla guru dan akhirnya berujung pada manfaat dan barakah ilmu. Kejadian nyata yang secara jelas menunjukkan ketidaksenangan Pak “S” pada diri saya, yang membuat hati saya semakin sedih adalah ketika pengambilan nilai Baca Qur’an. Dari murid sekelas saya dipanggil paling akhir, jadi tiap ada jam pelajaran tersebut saya harus membawa Mushaf, satu bulan lebih saya membawanya menunggu dipanggil, padahal Mushaf milik saya berukuran besar, tidak praktis untuk dibawa ke kelas, sebuah Mushaf terbitan DEPAG hadiah lomba Cerdas-cermat 2 atau 3 tahun lalu, yaitu saat lomba di Nganjuk mewakili MAN Nglawak. Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba saya dipanggil menghadap sepagi ini? Sampai detik itu saya belum mengerti akan adanya hubungan antara mimpi di masjid dengan dipanggilnya saya oleh Pak “S”. Usai jama’ah shubuh dengan hati yang berdegub saya datang menghadap, saya ketuk pintu dengan pelan sambil mengucap salam. Pak “S” membuka pintu kamar, menjawab salam dan mengulurkan tangan, beliau menyambut saya dengan ramah. Saya menyambut tangan kanan beliau dengan dua tangan sambil mencium tangannya yang putih bersih dan lembut. Ada rasa nyaman di hati, rasa sejuk, rasa yang mirip ketika saya bersalaman dengan Mbah Yai. Pak “S” mempersilakan saya duduk, sayapun menurut. Dengan bahasa yang halus dan wajah yang ramah beliau menyampaikan maksud dipanggilnya saya. Yaitu saya diberi amanat oleh para mustahiq untuk mengelola daftar ulang siswa nduduk (santri kalong) seluruh kelas 1 Tsanawiyah MHM (Madrasah Hidayatul Mubtadiin), karena Kantor Madrasah tampaknya kewalahan menangani banyak sekali urusan. Tanpa berfikir panjang sayapun menyatakan kesanggupan, “Inggih, Insyaallah”. Pagi itu hati saya berbunga-bunga, memperoleh kepercayaan dari para guru saya, dan yang lebih membahagiakan adalah sikap Pak “S” sejak pagi itu berubah menjadi ramah. Ya Allah inikah makna mimpi di masjid tadi malam. Dari sekitar 3-4 ratusan santri kelas 1 Tsanawiyah Guru-guru memilih saya. Tadi malam dalam mimpi, “Mbah Yai mengistimewakan saya saat membagi tumpeng”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS