RSS

BASHIRAH

BASHIRAH
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf
Dalam tulisan ini yang saya maksud dengan bashirah adalah tersingkapnya hijab sehingga mata batin bisa berfungsi, beberapa orang menyebutnya dengan mukasyafah, ada pula yang menyebutnya ma’rifat. Yang saya ceritakan adalah beberapa kejadian tentang tajamnya mata hati beberapa orang yang saya kenal dengan dekat. Untuk yang sudah meninggal akan saya sebut namanya langsung, sedangkan yang masih hidup-dengan beberapa pertimbangan- saya sebut inisialnya saja. Terus terang belakangan saya memang banyak mengandalkan apa yang disebut Metode Irfani dalam Epistemology Islam Al-Jabiri, terutama ketika menghadapi beragam klaim kebenaran oleh firqah-firqah yang ada dalam Islam. Tentu saja untuk ranking pertama saya tetap mengandalkan sumber hukum Islam yang disepakati, Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Permasalahannya adalah hampir semua firqah juga mengemukakan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam setiap perdebatan (meski lebih banyak berupa polemic dari pada diskusi tatap muka).
KH. Munawir Tegalarum
Beliau adalah seorang mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah dan berkedudukan di PP. Al-Musthafa Tegalarum Pelem Kertosono Nganjuk. Meninggal pada tanggal 21 Agustus 2001 dan dimakamkan di makam keluarga belakang masjid Tegalarum. Berikut ini beberapa kejadian yang saya alami terkait dengan bashirah beliau:
1. Suatu hari saya disuruh ibu yang merupakan salah satu putri KH. Munawir untuk mengantar buah dan daun pepaya buat sayuran, konsumsi para santri. Hujan disertai angin merobohkan satu pohon pepaya kami yang berbuah lebat. Dari pada terbuang mubadzir oleh ibu disuruh antar ke Tegalarum. Menjadi kebiasaan kala itu seminggu sekali dua atau tiga santri dolan ke Sedan (5 km arah barat dari tegalarum) untuk mencari sayuran, di PP. Tegalarum kebutuhan konsumsi santri memang ditanggung Kyai.Buah papaya yang masih mentah dan daunnya saya masukkan ke glangsing (karung plastic) lantas saya tali. Kepalang basah, dengan kondisi masih hujan-hanya anginnya yang sudah berhenti- saya antar karung plastic tadi ke Tegalarum. Melalui halaman ndalem saya langsung ke dapur, baru setelah itu dengan baju basah saya mampir ke ndalem untuk bersalaman dengan mbah. 5 meter dari pintu Bulek Roh (adik ibu) menyapa dan memperkenalkan seorang tamu perempuan sepuh yang duduk di sebelah timur mepet tembok. “Iki mbah nyai Mundzir Kediri”, saya mengangguk hormat sambil membatin, “wah ini tamu agung”, selama ini saya sering mendengar nama Mbah Mundzir, tetapi belum pernah berjumpa hingga beliau meninggal, lha… ini Mbah Nyai ada di sini, saya merasa beruntung. Sehabis menghormat ke Mbah Nyai Mundzir saya berjalan ke selatan menuju ke dipan Mbah Munawir, ketika bersalaman dengan mbah saya ditanya “Kates lee?” (Pepaya nak?), saya menjawab “Inggih mbah, dipun utus ibu, wonten sing rubuh”. Saya diliputi perasaan heran.”Bagaimana mbah bisa tahu kalau karung plastic tadi berisi papaya?, padahal ketika datang saya langsung ke dapur, jarak antara dipan dengan tempat lewat saya sekitar 20 meter dan karung plastic dalam keadaan tertali rapat, dan keadaan masih hujan. Saya mengira bagi orang muda saja sulit menerka apa isi karung, apalagi orang seusia Mbah yang saat itu berusia sekitar 80”.
2. Dalam minggu itu berkali-kali isteri mengajak saya dolan ke Tegalarum, karena memang sudah lumayan lama kami tidak sowan ke sana. Saya selalu berkelit dengan beragam alasan, dari sibuk urusan kerja (kala itu saya menekuni usaha pembuatan krupuk) hingga kegiatan mengajar (GTT di MAN Nglawak). Padahal sebenarnya keengganan saya sowan adalah karena ketidak-PD-an saya berhadapan dengan mbah terkait belum bisa istiqamahnya saya menjalani wirid/dzikir thariqah yang sudah beliau ajarkan. Hari beranjak siang, sekitar jam 09.00, seperti biasa jam segitu saya sibuk menjemur krecek (krupuk mentah), tiba-tiba mobil mbah datang masuk ke halaman, dekat dengan tempat jemuran krecek. Saya datang menghampiri mbah yang tetap di jok mobil bagian depan dengan kaca jendela mobil yang terbuka, beliau tidak turun. Ketika saya menyalami beliau, beliau memberi banyak nasihat terkait amalan-amalan thariqah, hal mana yang sebenarnya merupakan alasan utama saya belakangan enggan sowan,yaitu disebabkan merasa belum bisa menjalani pengajaran beliau secara istiqamah.
3. Ada juga pengalaman lucu terkait sifat bashirah mbah yai Munawir. Sebelum peristiwa itu, di beberapa kasus yang sempat kami catat dalam hati, ketika mbah yai berkunjung ke suatu rumah dari suatu keluarga, beberapa hari kemudian anggota keluarga itu (umumnya keluarga, murid, kenalan dekat dari mbah yai) ada yang meninggal. Hal ini terjadi pula pada keluarga kami, yaitu menjelang meninggalnya bapak dan juga besan kami. Belajar dari pengalaman di atas, kami sekeluarga mengalami “ketakutan” akan adanya orang yang bakal meninggal dari keluarga kami ketika 3 hari berturut-turut mbah yai Munawir dolan ke rumah dan ikut berjamaah maghrib di masjid. Di antara yang paling “ketakutan” adalah saya sendiri, karena di 3 jama’ah maghrib itu saya menjadi imam shalat. Di satu kesempatan mbah juga menyempatkan melihat saya mengajar ngaji Qur’an pada anak-anak dan bersalaman dengan mereka. Saya ingat ketika saya, adik, kakak dan juga ibu saling pandang ketika mbah berturut datang menjelang maghrib, sebab biasanya beliau berkunjung siang hari, saya melihat wajah kekhawatiran dari masing-masing, nampaknya semua membatin; “Akan ada apa ini?”. Kami merasa lega ketika di hari yang ke 3 mbah Munawir maghriban di Sedan beliau menitipkan pesan ke Ibu untuk saya. Saat beliau pulang saya gak tahu karena ngajar Qur’an anak-anak. “Kon ngomongi awakmu lak wiridan kon njangkepi 165” (Disuruh memberitahu dirimu jika membaca dzikir dilengkapi 165 kali), kata ibu saat saya masuk rumah. Sebelumnya ketika wiridan ba’da shalat saya bacanya La ilaha illallah 100 kali. Alhamdulillah, kami sekeluarga merasa lega karena kedatangan mbah Munawir 3 kali berturut di waktu maghrib tidak seperti yang kami bayangkan, tetapi untuk memantau secara langsung praktek pengamalan thariqah.


Kang “M”
Dia adalah santri yang bertugas sebagai sopir dan khadim mbah yai Munawir, jika mbah bepergian dia yang mengantar, mengangkat ke kursi roda dan mendorongnya ke tempat yang dituju mbah yai. Dia juga yang melayani mbah yai ketika dahar, minum, mandi, buang hajat dan pipis. Dia berasal dari wilayah timur Jawa Timur. Sikapnya sangat sopan dan tawadlu’, saya terkadang merasa kurang enak, karena penghormatan yang dilakukannya pada saya dan juga seluruh dzuriah mbah yai saya anggap berlebihan. Di antaranya adalah mengambil posisi duduk di lantai ketika dipanggil atau sedang menyampaikan sesuatu. Suatu hari saya dolan ke ndalem mbah. Sambil menunggu mbah yang masih menemui tamu saya ditemui oleh Kang “M”. Saya duduk di sebelah timur ruang tamu khusus keluarga dan tamu putri, berposisi di utara meja besar menghadap ke selatan. Di atas meja besar berukuran kira-kira 1,5 x 8 meter tersebut tersaji beragam kue dengan bermacam wadah, ada yang toples, ada juga piring. Wadah-wadah ditata saling merapat, jadinya meja tersebut bisa menampung sekitar 100 wadah kue. Saya tidak menghitung angka pastinya.
Kang “N”
Dia adalah santri dan juga menjadi khadim mbah yai sepeninggal Kang “M”. Bertugas sama dengan Kang “M”. Berasal dari daerah yang juga sama dengan Kang “M”. Menjelang kepulangan Kang “M”, Kang “N” sudah disiapkan untuk menggantikan tugas-tugasnya. Yang membawa Kang “N” ke Tegalarum juga Kang “M”, bisa disebut Kang “N” adalah yuniornya Kang “M”. Karakternya hampir sama. Hanya dari segi kulit Kang “N” lebih putih dan bersih. Kelak pasca wafatnya Mbah Kyai Munawir Kang “N” nyantri di pesantren Kang “M”.
Tentang bashirah Kang “N” ada beberapa sebenarnya yang saya alami, tetapi karena kurang menonjol tidak perlu saya tulis di sini karena mungkin kurang menarik. Satu pengalaman yang saya anggap layak untuk dimunculkan adalah ketika suatu hari sepulang dari mengajar di Nglawak saya ditanya oleh isteri saya. “Mas-mas, supire mbah niko, Kang “N”, nopo ilmune sampun duwur?” (Mas-mas, sopirnya kakek, Kang “N”, apa ilmunya sudah tinggi?), tanya isteri saya. Saya langsung balik bertanya; “Enek opo to dik?” (Ada apa memangnya?). “Wau lho mas, pas mbah meriki, kulo mbatin, engko lak kundur sisone daharan lan unjukan bade kulo suwun kersane angsal barokah, lha pas bade pamitan lho Kang “N” kok marani kulo terus nyerahaken siso daharan kaleh minume mbah, kaleh matur: meniko ning menawi pingin pados barokah. Padahal kulo namung mbatin mboten omong”. (Tadi lho mas, waktu mbah ke sini, saya membatin, nanti jika beliau sudah pulang, sisa makan dan minumnya akan saya minta agar memperoleh barakah, lha waktu mau pamitan Kang “N” mendatangi saya lalu menyerahkan sisa makan dan minum mbah sambil mengatakan: ini ning jika ingin mencari barakah. Padahal aya hanya membatin tidak bicara). Saya lalu menjelaskan ke isteri tentang kehebatan orang-orang yang menekuni Thariqah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS