RSS

MQK

MUSABAQAH QIRO’ATIL KUTUB (MQK),
KITAB KUNING DAN TRADISI KEILMUAN PESANTREN
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf

Pendahulan

1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai – nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. ( Pasal 30 Ayat 1 & 2 Undang – undang RI Nomor 20 Tahun 2003 SISDIKNAS)

Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, telah diamanati Undang –undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk membina dan mengembangkan pondok pesantren. Pendidikan keagamaan termasuk di dalamnya pondok pesantren dan madrasah diniyah adalah bagian dari program pembangunan pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakan dalam Undang – undang Sisdiknas tersebut.
Departemen Agama telah menunjukkan keseriusannya untuk membina dan mengembangkan pondok pesantren. Diawali dari perubahan struktur di internal Depag, yang awalnya pondok pesantren ditangani oleh subdit, unit eselon III, kini ditangani oleh satu direktorat, unit setingkat eselon II. Perubahan struktur ini menunjukkkan bahwa Depag akan fokus dan serius dalam pengembangan pesantren. Dengan unit setingkat direktorat dukungan dana dan tenaga akan lebih maksimal.
Depag meskipun memiliki otoritas melakukan perubahan pesantren bukan berarti Depag akan mengintervensi pesantren seperti yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan. “ Pemerintah ingin mengembangkan potensi yang ada di pesantren lebih baik lagi, misalnya potensi di suatu pesantren X, Depag ingin X ini menjadi berkembang lebih banyak lagi dan bukan merubahnya menjadi Y “ tandas Drs. H. Amin Haidari, M. Pd., Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren). (Dalam Bina Pesantren Edisi II, 2006 : 11)
Salah satu gebrakan yang telah dilaksanakan oleh PD Pontren adalah penyelenggaraan perkemahan pramuka Santri Nusantara yang melibatkan 5000-an pramuka santri pada 10 – 14 September 2006 di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur Jakarta. Gebrakan lain adalah penyelenggaraan Musabaqah Qiro’atil Kutub (MQK) hingga ke tingkat Nasional. Makalah ini akan membahas seputar “Musabaqah Qiro’atil Kutub (MQK), Kitab Kuning Dan Tradisi Keilmuan Pesantren “. Makalah ini diharapkan mampu memberikan diskripsi singkat perihal kegiatan MQK, latar belakang penyelenggaraan dan tujuannya, serta gambaran sekilas tentang kitab kuning sebagai literature utama tradisi akademik di pesantren.

Sekilas Tentang Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang terbukti telah mampu berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Sehingga meski dijajah Belanda selama tiga setengah abad, Islam tetap eksis di negeri ini. Asal – usul pesantren dengan segala keunikannya, sulit untuk dilacak kebenarannya secara pasti. Sebagian kalangan menganggap bahwa pesantren sudah ada sebelum datangnya Islam yaitu sebagai tradisi Hindu yang berkembang di Jawa. Kata “ pesantren “ berasal dari bahasa Tamil “ santri “ yang berarti “ guru mengaji “. Sumber lain menyebutkan bahwa kata “ pesantren ” atau “ santri “ berasal dari bahasa India “ shastri “ atau “ buku – buku tentang ilmu pengetahuan “. ( Faiqoh , 2003 : 23 ). Di luar pulau jawa lembaga pendidikan pesantren disebut dengan nama lain seperti “ surau “ untuk masyarakat di Sumatera Barat.
Bermaksud menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan masyarakat pesantren telah banyak melakukan upaya modernisasi. Salah satunya adalah merubah kurikulum dengan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam daftar pelajaran resminya. Begitu pula banyak pesantren yang di dalamnya telah di dirikan madrasah berkurikulum Depag atau bahkan sekolah dengan berafiliasi ke Depdiknas. Upaya modernisasi ini tentu saja punya dampak besar pada penampilan sosok pesantren, dampak tersebut ada yangb bersifat positif semisal diakuinya ijazah pesantren ( baca : madrasah atau sekolah dalam pesantren ) oleh masyarakat dan pemerintah sehingga memiliki efek publik. Tetapi ada juga dampak negatif yang timbul semisal melunturnya tradisi pesantren yang selama ini telah menjadi semacam trade mark diantaranya adalah lunturnya tradisi penguasaan kitab kuning.
Di beberapa pesantren – diakui atau tidak - dampak negative modernisasi itu sedemikian hebatnya sehingga Muhibbudin ( 2006 : 17 ) menyatakan :
“ Kita dapat melihat dan juga merasakan, bahwa dahulu lembaga pondok pesantren, paling tidak dari sisi waktu, adalah merupakan kebutuhan pokok dalam konteks thalabul ilm sehingga kalau dahulu orang pergi ke pondok pesantren, maka pesantren adalah tujuan pokoknya, sementara sekolah menjadi penunjang pesantren. Namun sekarang telah terjadi pergeseran dimana institusi sekolah dianggap sebagai sesuatu yang pokok sementara pesantrennya dianggap penunjang. Dengan begitu tentunya posisi pesantren dalam konteks pendidikan akan sedikit demi sedikit akan tergeser oleh sekolah formal ”.

Kitab Kuning Dan Tradisi Keilmuan Pesantren
Salah satu sisi unik dari pesantren adalah, biasanya di pesantren diajarkan ilmu agama yang bersumber dari literatur – literatur yang dikarang oleh ulama abad pertengahan, literatur ini populer dengan sebutan “ Kitab Kuning “.
Perihal kitab kuning Azyumardi Azra menulis :
“ Kitab Kuning (KK) pada umumnya di pahami sebagai kitab – kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau – khususnya yang berasal dari Timur Tengah. KK mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas kekuning – kuningan “ . ( Azra, 2001 : 111 )

Sedangkan menurut Tholchah Hasan (dalam Abdurrahman, 2006 : 32) , kitab kuning bisa dicirikan sebagai berikut :
a. Kitab yang ditulis atau bertulisan arab
b. Umumnya ditulis tanpa syakal, bahkan tanpa tanda baca semisal titik dan koma
c. Berisi keilmuan Islam.
d. Metode penulisannya yang dinilai kuno, dan bahkan ditengarai tidak memiliki relevansi dengan kekinian.
e. Lazimnya dipelajari dan dikaji di pondok pesantren.
f. Dicetak di atas kertas yang berwarna kuning.

Metode pengajaran kitab kuning di pesantren dilakukan dengan sistem sorogan (individu) dan bandongan (masal). Dalam sistem sorogan seorang santri membaca kitab lengkap dengan maknanya di hadapan kyai, sedangkan kyai memberi makna dengan menulis (ngesahi) pada kitab milik santri tersebut. Sistem ini dikenal membutuhkan kesabaran, kesungguhan dan kedisiplinan yang tinggi. Sedangkan dalam sistem bandongan kyai membacakan kitab disertai mengartikan kata demi kata diselingi penjelasan sekedarnya, sedangkan santri menuliskan makna pada kitab. Karena dilaksanakan setelah waktu sholat, sistem bandongan biasa disebut juga sistim wetonan (dari kata waktu).
Tentang mulai kapan kitab kuning menjadi bahan ajar utama di pesantren, Affandi Mochtar menyatakan :
“ Sangatlah mungkin – sejauh bukti – bukti histories yang tersedia – dikatakan bahwa KK menjadi text books, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren seperti yang kita kenal sekarang, adalah baru dimulai pada abad ke- 18 M. bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran KK secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke – 19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara khususnya Jawa kembali dari program belajarnya di Makkah “. (Mochtar, 2001 : 39)


Seputar Musabaqoh Qiro’atul Kutub
Dalam upaya meningkatkan kembali perhatian dan kecintaan para santri untuk terus mempelajari kitab- kitab kuning sebagai sumber utama kajian ilmu – ilmu agama Islam, maka diselenggarakanlah suatu jenis perlombaan yang merupakan gabungan dari aktivitas membaca atau menghafalkan, menterjemahkan dan memberikan pengertian dan penjelasan terhadap sejumlah kitab kuning yang telah ditentukan. Perlombaan ini biasa disebut sebagai “ Musabaqah Qiro’atil Kutub “ (MQK) antar pondok pesantren.
MQK Tingkat Nasional I diselenggarakan pada tahun 2004 di pondok pesantren “ Al – Falah “ Bandung Jawa Barat, sedangkan MQK Tingkat Nasional II diselenggarakan pada tahun 2006 di pondok pesantren “ Lirboyo “ Kediri Jawa Timur, saat makalah ini ditulis di beberapa kabupaten di Jawa Timur sedang dilaksanakan seleksi untuk menyiapkan kafilah MQK tingkat propinsi Jawa Timur dalam rangka menyongsong MQK Tingkat Nasional III.
Keseriusan untuk semakin menambah semarak musabaqah terlihat dari ditambahnya bidang atau majlis dari yang semula terdiri dari empat majlis yaitu majlis fikih, majlis tafsir, majlis hadits dan majlis lughoh menjadi lima majlis yaitu dengan menambah majlis akhlak/tasawuf. Di samping itu, MQK Tingkat Nasional III juga menambah satu tingkatan (marhalah) musabaqah yaitu Tingkat Ula (Ibtidaiyah) dari yang semula hanya Tingkat Wustho (Tsanawiyah) dan Tingkat Ulya (Aliyah).
Penentuan majlis yang terdiri dari fiqh , tafsir, hadits, lughoh dan akhlak tasawuf tampaknya mengacu pada kenyataan bahwa bidang – bidang di atas memperoleh perhatian khusus dari pesantren dan merupakan kandungan terbanyak dari kitab kuning yang beredar di tangan para santri, meski harus diakui belum mencakup semua bidang ilmu yang dipelajari di pesantren dan dibahas di dalam kitab kuning.
Tentang kandungan kitab kuning yang beredar, Martin Van Bruinessen sebagaimana dinukil Affandi Mochtar (2001 : 55) menyatakan bahwa kandungan KK yang beredar di kalangan pesantren hingga sekarang memang lebih banyak didominasi bidang fiqh ( hukum Islam ). Akan tetapi, kenyataan ini tidak berarti bahwa tradisi keilmuwan yang berkembang di pesantren terbatas pada disiplin fiqh saja. Karena ternyata dari sekitar sembilan ratus (900) judul KK yang beredar di lingkungan pesantren hanya sekitar 20 % saja yang bersubstansikan fiqh. Sisanya menyangkut disiplin – disiplin ilmu lain, seperti akidah (Ushul Al-Din) berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah) berjumlah 12 % , hadits berjumlah 8 %, tasawuf berjumlah 7 %, akhlak berjumlah 6 %, pedoman do’a (wirid, mujarrabat) berjumlah 5 % dan karya puji – pujian kenabian (qishas al-anbiya, mawlid, manaqib) berjumlah 6 %.

Berikut materi Musabaqah Qiro’atil Kutub yang direncanakan pada MQK Nasional III :
No. Tingkat Bidang Materi Kitab
1. Ula 1. Fiqh
2. Lughah
3. Akhlak • Safinatun Naja
• Al – Ajrumiyah al – Kaylani
• Ta’lim al – Muta’allim
2. Wustho 1. Fiqh
2. Tafsir
3. Hadits
4. Lughah
5. Akhlak • Fath Al – Qarib al – Mujib
• Tafsir Al – Jalalain
• Bulugh Al – Maram
• Imrithi
• Kifayatul Atqiya’ (syarh al – Adzqiya’ wa Minhajul Ashfiya’)
3. Ulya 1. Fiqh
2. Tafsir
3. Hadits
4. Lughah
5. Akhlak • Fath al – Mu’in
• Tafsir Ibnu Katsir
• Fath Al – Bari
• Alfiyah Ibnu Malik
• Ihya’ Ulum ad - Din


Penutup
Dengan perhatian pemerintah terhadap eksistensi pesantren yang diwujudkan dengan bentuk legalisasi lewat perundang – undangan dan penyelanggaraan beberapa aktifitas dengan peserta para santri termasuk MQK pesantren diharapkan mengembalikan peran vitalnya sebagai pusat kajian keagamaan dan bidang keilmuan lainnya. Pesantren menjadi pusat studi dan rujukan masyarakat seperti harapan semua pihak termasuk pemerintah. Sebagaimana visi yang dilaksanakn oleh direktorat PD Pontren “ Menjadikan pesantren sebagai pusat pendidikan untuk menciptakan faqih fi al-diin dan faqih fi mashalih amah”. Pesantren diharapkan mampu mencetak kader – kader ulama handal yang memiliki kepiawaian dalam menghadapi persoalan – persoalan bangsa atau pesantren mampu mencetak ilmuwan – ilmuwan yang religius yang melandasi ilmunya dengan akhlak Islami.
Dengan modal sejarah dan tradisi yang ada di pesantren tentu kita optimis pesantren mampu menjadi kawah candra dimuka bagi generasi masa depan bangsa. Sejarah keemasan Islam yang sangat produktif menghasilkan berbagai literature dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan memungkinkan untuk “reinkarnasi” melalui pesantren yang banyak berdiri di negeri ini. Ikhtiyar berbagai pihak telah dilakukan, fenomena pesantren unggulan baik secara keilmuan atau juga spesifikasi kekhasan seperti pesantren pertanian, pesantren peternakan, pesantren koperasi, pesantren bahari dan lain-lainnya, mengindikasikan bahwa masa depan pesantren penuh harapan yang cerah. Walaupun demikian kajian kitab kuning sebagai salah satu ciri khas utama sebuah pesantren musti tetap dilestarikan. Di sinilah Musabaqoh Qiro’atil Kutub (MQK) menemukan urgensinya.




Daftar Pustaka

Muhibuddin, 2006, “ Mempertegas Peran Sosial Kemasyarakatan dan Dakwah Pondok Pesantren “, Dalam Bina Pesantren I (02) : 12 – 22, Jakarta.

Undang – undang RI No. 14 tahun 2005 “ Guru dan Dosen “ & Undang – undang No. 20 Tahun 2003 “ SISDIKNAS “, Cetakan I, 2006, WIPRESS.

Redaksi, 2006, “ Dinamika Pesantren Dalam Konteks Sejarah “, Dalam Bina Pesantren I (02) : 5 - 11, Jakarta.

Faiqoh, 2003, “ Nyai Agen Perubahan di Pesantren “, Cetakan I, Jakarta, Kucica.

Azra, Azyumardi, 2001, “ Pendidikan Islam Tradisi dan Modenisasi Menuju Milenium Baru “, Cetakan III, Jakarta, Kalimah.

Mochtar, Affandi, 2001, “ Membedah Diskursus Pendidikan Islam “, Cetakan I, Jakarta, Kalimah.
Abdurrahman, Mashudi, 2006, “Memelihara trTadisi, memperbaharui pendidikan pesantren”, dalam Bina Pesantren I (01) : 21 – 35, Jakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS