RSS

PESANTREN DAN TRADISI KITAB KUNING

PESANTREN DAN TRADISI KITAB KUNING
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf

Pendahuluan
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang selama berabad – abad mempergunakan nilai – nilai hidupnya sendiri yang unik, pesantren dalam dekade terakhir telah menarik perhatian para peneliti untuk melihat lebih dekat berbagai aspek kehidupan di dalamnya. Oleh karena itu selain sebagai subkultur, pesantren juga dapat dipandang sebagai laboratorium sosial kemasyarakatan. Hal itu dapat dilihat dari peran pesantren yang tidak hanya berperan aktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tetapi lebih jauh dari itu pesantren telah terbukti memiliki andil yang cukup besar dalm tranformasi sosial. Transformasi sosial yang telah dilakukan oleh pesantren dapat bermula dari watak pendidikan pesantren yang populis dan dapat dilihat sebagai miniatur masyarakat, hal mana para santri dengan fasih dapat belajar untuk sosialisasi dengan lingkungan internal maupun eksternal pesantren. (El – Muniry, 2006 : 74)

Sekilas tentang pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan dianggap sebagai budaya asli Indonesia (indigenous) serta memiliki akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu – Budha. Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu – Budha. (El – Muniry, 2006 : 75)
Kelompok lain berpendapat bahwa pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Kelompok ini meragukan pendapat pertama. Menurut mereka pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al – Azhar dengan sistem pendidikan riwaq atau lebih dekat sebagai kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarikat. Kelompok ini lebih meyakini pesantren muncul bukan sejak masa awal islamisasi, tetapi baru sekitar abad ke-18 dan berkembang pada ke- 19 M. meski pada abad ke-16 dan ke-17 sudah ada guru yang mengajarkan agama Islam di masjid dan istana yang memungkinkan pesantren berkembang dari tempat – tempat tersebut, namun pesantren baru muncul pada era belakangan. ( Muhibuddin, 2005 : 8 – 9)

Pembelajaran kitab kuning
Kita perlu menengok ke belakang sebentar. Istilah “ Kitab Kuning” pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren, sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam pandangan mereka kitab kuning dianggap sebagai kitab yang berkadar keilmuwan rendah, ketinggalan zaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi pemikiran umat. Sebutan ini pada mulanya memang menyakitkan, tetapi kemudian nama “ Kitab Kuning ” diterima secara luas sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.
Affandi Mochtar mengeksplorasi lebih lanjut bahwa di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar juga istilah “ Kitab Klasik” (Al – Kutub al – Qodimah), untuk menyebut jenis kitab yang sama. Bahkan karena tidak dilengkapi dengan “ sandangan ” (syakl) kitab kuning oleh kalangan pesantren, juga kerap disebut “Kitab Gundul”. Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning dengan sebutan “Kitab Kuno”.
Beberapa pengamat pesantren mendifinisikan kitab kuning juga begitu beragam :
1. Muntaha Azhari mendefinisikan kitab kuning, adalah buku tentang ilmu – ilmu keislaman yang dipelajari di pesantren, ditulis dalam tulisan bahasa Arab dengan sistematika klasik.
2. Affandi Mochtar mendefinisikan bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab – kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama – ulama masa lampau (salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17 an M.
3. Martin Van Bruinessen menyimpulkan bahwa dikatakan kitab kuning karena ditulis di atas kertas berwarna kuning yang dibawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh.
4. Chozin Nasuha juga mendefinisikan bahwa kitab kuning adalah kepustakaan dan pegangan para kyai di pesantren, bahkan para kyai dan kitab kuning tidak bisa dipisahkan. Kitab kuning merupakan kodifikasi nilai – nilai ajaran Islam. Sedangkan kyai disebut alim bila ia benar – benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning.
5. Muhammad Daud Ali menyebut kitab kuning karena pada waktu dulu, ilmu pengetahuan tentang ajaran Islam ditulis di atas kertas warna kuning yang tidak dijilid. (El – Muniry, 2006 : 78)
Entah disadari atau tidak, hingga sekarang ini sistem pendidikan pesantren kita sesungguhnya masih “ setia ” menjalankan model lama. Metodologi pembelajaran yang diterapkan, bahan – bahan yang disajikan serta asumsi dan filosofi dasar yang dihidupkan dari tingkat ibtidaiyah sampai tingkat aliyah dan bahkan hingga perguruan tinggi masih berjangkar kuat pada banking system. Para kyai atau ustadz adalah pelaku utama pendidikan yang memainkan peranan cukup dominan, sementara santri diperlakukan sebagai bejana kosong yang harus dituangi berbagai ilmu. Pola hubungan paternalistik yang memanifestasikan kultur feodalistik itu tetap kukuh, mengkristal, dan mengendap padat di dalam dunia pesantren. (Ghazali, 2005 : 42)
Dibandingkan dengan pesatnya perkembangan ilmu – ilmu kealaman, sosial dan budaya, keilmuan Kitab Kuning nampaknya agak lambat berkembang – kalau mau tidak disebut mandeg. Padahal keilmuan Kitab Kuning dinilai sangat tinggi, apalagi dalil – dalil atau dasar – dasar materinya sangat lengkap, luwes dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, kemandegan atau kelambanan Kitab Kuning bukan disebabkan oleh sistem nilai, melainkan oleh sistem sosial dan sistem budaya. Kemandegan sosial berarti bahwa pecinta Kitab Kuning tidak mau mengembangkan nilai – nilai itu, sementara kemandegan sistem budaya berarti bahwa fenomena yang ada di dalam Kitab Kuning kukuh dipertahankan oleh pecintanya. Yang perlu diprioritaskan dalam mengembangkan kitab kuning di pesantren adalah pengembangan materi, metode pengajaran dan bahasa.
Siapa yang meragukan pesantren merupakan gudangnya kitab-kitab (kitab kuning) yang dikaji secara massif. Tapi apakah kitab itu dibaca ulang atau dikaji lebih lanjut oleh santri – santrinya ? jawabannya belum tentu. Setiap kali habis mengaji kitab-kitab tersebut langsung ditempatkan di tempat semula. Beralih kepada buku – buku yang sifatnya “modern” budaya semacam inilah yang perlu dikikis sedikit demi sedikit. Antara kitab-kitab pesantren (kitab kuning) dengan buku pelajaran sekolah, harus seimbang. (El – Muniry, 2006 : 79)
Untuk metode “ utawi iki iku ” memang akhir – akhir ini dari kalangan luar pesantren banyak yang menyorotinya sebagai metode yang tidak lagi patut dilestarikan, karena dianggap tidak praktis dan lambat. Bahkan ada juga yang salah paham, metode ini dianggap sebagai metode pengajaran bahasa Arab. Padahal kalangan pesantren sendiri tidak beranggapan begitu, tetapi ia hanya sebagai cara untuk membaca dan memahami kitab-kitab klasik di pesantren yang memang menggunakan tata bahasa yang tinggi.
Bagi kalangan pesantren sendiri metode ini justru dianggap suatu cara yang praktis, karena sekali sang kyai membaca seperti itu, si santri dapat langsung memahami bukan saja arti dan makna tiap kalimat, tetapi sekaligus bisa difahami kedudukan masing -masing kalimat dan huruf yang bermakna menurut kaidah ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain. (Ridwan, 1993 : 9)

Metodologi Pembelajaran Kitab Kuning
Sebagai lembaga tafaqquh fiddin (lembaga pendidikan), pada awalnya pesantren menggunakan sistem halaqoh (lesehan), dimana seorang kyai pengasuhnya duduk di tengah-tengah para santri dan mengajarkan kitab yang telah ditentukan dengan metode bandongan dan sorogan. Menurut kyai Sahal, sistem ini sesuai dengan kaidah mustanad riwayat al-hadits. Dan mustanad yang tertinggi adalah bissama’, guru membaca dan para murid mendengarkan (sama’iyyan), metode ini dalam pesantren lazim disebut pengajian bandongan. Tingkat di bawahnya adalah bil – qiraah, murid yang membaca (qiraatan)dan guru yang mendengarkannya seraya memberikan petunjuk dan bimbingan. Metode ini dikalangan pesantren biasa disebut sorogan.
Metode lain yang dilakukan di pesantren adalah sanad bil – ijazah, di mana guru tidak lagi membacakan atau mendengarkan bacaan si murid, tapi memberi ijazah (al – idznu fir – Riwayah) kepada salah seorang murid yang dipandang telah mampu, sehingga si murid sekaligus sebagai mata rantai hubungan dengan penulis (pengarang) kitab itu. Kalau materi hadits juga punya sanad langsung dari sumber aslinya. (Ridwan, 1993 : 8)
Metode lain yang sampai kini masih dibakukan di sebagian pesantren adalah cara membaca kitab dengan “ utawi iki iku “ dan seterusnya. Metode ini memang belum pernah diteliti siapa penciptanya dan sejak kapan dipakai. Yang jelas dari Jawa, mengingat bahasa bakunya menggunakan bahasa Jawa, dan metode semacam ini telah digunakan juga di pesantren – pesantren di luar Jawa ; Madura, Sunda, Kalimantan dan sebagainya.
Dalam prakteknya untuk metode yang pertama dan kedua ( bandongan dan sorogan ), sering terjadi dialog antara murid dengan guru secara akrab dan bersahaja, sehingga terjadi proses guidance and counseling. Tidak jarang pula persoalan – persoalan yang belum tuntas dalam majlis itu ditugaskan oleh kyainya agar didiskusikan di luar majlis, sehingga terjadilah dan terciptalah proses belajar mengajar yang bebas dan dinamis.
Di samping itu, dalam kedua metode itu sebenarnya telah terjadi proses evaluasi yang efektif, karena dengan proses tersebut kyainya dapat secara langsung mengetahui santri – santri yang pandai atau kurang pandai. Keterpaduan antara proses mengaji (belajar) bissama’ atau bil qiraah dan proses dialog di dalam dan di luar majlis serta proses penugasan yang sekaligus proses evaluasi akan mempunyai pengaruh yang luas terhadap kematangan belajar santri di satu sisi. Dan di sisi lain akan makin mempertebal keakraban dan kecintaan santri dengan kyainya, yang pada gilirannya akan menumbuhkan hubungan yang tak pernah putus sepanjang masa antara kyai dan santri.
Untuk metode yang ketiga ( ijazah ), jelas akan memberikan peluang kepada santri untuk lebih mengembangkan ilmunya sendiri dengan tanpa memutuskan mata rantai keilmuwan dan keguruannya, di samping adanya nilai barakah tersendiri dari kesinambungan silsilah sanad yang langsung ( muttasil ) dengan sumber pertamanya, suatu hal yang tidak terjadi di lembaga pendidikan non pesantren. Dengan telah diterapkannya sistem halaqah dengan ketiga metodenya itu, pesantren telah memberikan peluang seluas – luasnya pada santri untuk semakin memantapkan kemandiriannya dalam mengeluarkan ide – ide dan pemikiran baru serta akan memacu kreatifitas para santri.
Kalau dikaitkan antara dimensi kependidikan dan dimensi kemasyrakatan, maka di pesantren telah ditemukan keterpaduan dari keduanya. Para santri, bukan saja atas motivasi agama dan ajaran yang digumulinya, tetapi juga atas persepsi yang mendalam tentang konsepsi ta’aruf dan mu’asyarah yang merupakan proses kependidikan dan kemasyarakatan yang integrative ke dalam sikap dan perilaku yang berakhlak karimah sebagai implementasi ajaran.
Menurut kyai Sahal, keterpaduan antara dimensi kependidikan dan kemasyarakatan itu terlaksana karena didukung oleh sikap keteladanan kyai pengasuhnya yang selalu menjadi titik sentral dan rujukan para santri dan masyarakat lingkungannya. Watak keteladanan kyai itu pula yang kemudian pesantren lebih menonjolkan nilai kependidikannya daripada unsur intelektualnya yang sering dipengaruhi oleh sistem dan metodologi pengajaran. Sehingga aspek afektif dan psikomotorik-lah yang sering mendominasi para santri daripada aspek kognitif[-nya (Ridwan, 1993 : 9)


Penutup
Walhasil semua paparan di atas dapat dikategorikan sebagai potensi pesantren yang bisa dikembangkan secara optimal, sehingga menjadi institusi yang berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat, khususnya dalam hal pendidikan masyarakat. Dalam upaya untuk mempertahankan eksistensinya, pesantren harus mampu mempertahankan pola-pola yang selama ini dikembangkan – salah satunya pembelajaran kitab kuning – dengan tidak mengabaikan begitu saja tuntutan kekinian yang semakin menggelobal.
Abdurrahman Wahid ( dalam Muhibuddin, 2005 : 12 ) melihat ada dua aspek utama pesantren yang harus dipertahankan, yaitu : Pertama, terkait dengan struktur, metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional, dalam bentuk pendidikan non formal dengan ragam tingkatannya, dengan ciri utamanya yaitu stressing pengajaran lebih kepada pemahaman tekstual ( letterlijk atau harfiah ), dengan orientasi pada penyelesaian pembacaan terhadap sebuah kitab atau buku kemudian beralih kepada kitab berikutnya dan kurikulumnya tidak bersifat klasikal meski sudah menggunakan sistem madrasah. Kedua, terkait denagn pemeliharaan subkultur ( tata nilai ) yang bernilai di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, pengutamaan ibadah sebagai wujud pengabdian, serta pemuliaan ustadz atau kyai untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki dari sinilah kemudian muncul kecenderungan untuk mencapai keluhuran jiwa, ikhlas, bahkan loyalitas yang mengabaikan penerapan ukuran-ukuran duniawi.








Daftar Putaka

El – Muniry, Fahmi Arif, 2006, “ Menggagas pesantren berbasis riset : dari mengaji ke mengkaji “, Dalam Mihrab IV (2) : 74 - 84 , Jakarta.
Ghazali, Abd Moqsith, 2005, “ Upaya Mereformasi Pendidikan Pesantren “ , Dalam Mozaik Pesantren I (02) : 39 – 45, Jakarta.
Muhibuddin, 2005, “ Pasang Surut Pesantren Di Panggung Sejarah “ , Dalam Mozaik Pesantren I (02) : 7 – 12, Jakarta
Ridwan, M. Nasikh, 1993, “ sistem pendidikan pesantren : mengapa tidak dikembalikan pada sistem halaqah “, Dalam bangkit No. 5 : 7 – 12, Yogjakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS