RSS

FAKTOR PSIKOLOGIS DALAM TRANSMISI KEILMUAN

FAKTOR PSIKOLOGIS DALAM TRANSMISI KEILMUAN
Oleh: Muh. Zuhal Ma’ruf

Pendahuluan
Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan “Nafs” atau “Ruh”, Allah berfirman :
Artinya :

“ Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(QS. Asy - Syams ayat : 7- 10)

Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman :


Artinya :
“Dan mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah : ruh itu adalah bagian dari urusan Tuhanku dan tiodaklah kamu diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit.” (QS. Al-Isra’ : 85)

Lebih dari empat abad paradigma positivisme mendominasi dunia ilmiah. Dirintis oleh Descartes (1596 – 1650), berjaya ditangan Auguste Comte ( 1798 – 1857 ), disokong oleh John Struart Mill ( 1806 – 1873) dan Emile Durkheim (1858 – 1917 ) dan memperoleh darah segar dengan hadirnya kelompok diskusi “Lingkaran Wina” positivisme yang menyatakan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable) dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). (Kerlinger dalam Muslih, 2006: 78) “membuang ke keranjang sampah” pernyataan – pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris seperti etika, estetika, agama maupun metafisika, tentu saja termasuk pembahasan seputar jiwa.
Karena memaksakan diri menyamakan fenomena sosial dengan fenomena alam belakangan banyak pihak mempertanyakan eksistensi positivisme sebagai pegangan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Maka muncul dan berkembanglah sejumlah aliran paradigma baru sebagai landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang.
Mistisisme misalnya yang kemarin-karena paradigma positivisme yang dipakai-dianggap tidak ilmiah sekarang bisa dianggap ilmiah.
Weber dalam “ Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme “ menulis :

Kini sejarah filsafat menunjukkan bahwa iman kepercayaan keagamaan yang terutama bersifat mistik bisa sesuai dengan suatu pengertian yang dinyatakan mengenai realitas dalam bidang fakta-fakta empiris, hal ini secara langsung bisa mendorong dalam hal penyangkalan terhadap doktrin-doktrin dialektika. Lebih jauh lagi, mistisisme secara tidak langsung meningkatkan minat perhatian terhadap suatu perilaku atau sikap rasional. (Weber, 2006 : 104)

Makalah ini akan menguraikan faktor psikologis yang diartikan sebagai kondisi kejiwaan guru dan murid bagi transmisi keilmuan dalam aktifitas pembelajaran yang mereka lakukan. Meskipun berkait erat dengan psikologi pendidikan yang diartikan sebagai : ilmu yang mempelajari prinsip – prinsip dan proses – proses psikologis tingkah laku yang terjadi dalam aktifitas pengajaran dan dengan maksud untuk memperlancar dan menyukseskan program pendidikan. (Fudyar tanto, 2002 : 3), namun makalah ini tidak akan banyak membahas pengetrapan psikologi dalam proses belajar mengajar sebagaimana seharusnya psikologi pendidikan.
Seputar Jiwa
Secara etimologis, psikologi diambil dari bahasa Inggris Psychology yang berasal adri bahasa Yunani Psyche yang berarti jiwa (soul, mind) dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. (Shaleh dan Wahab, 2004 : 1). Kata Psyche sudah dikenal sejak tiga abad sebelum masehi, dicetuskan oleh Aristoteles dengan bukunya yang berjudul “ peri-psyches “ atau tentang jiwa (Drijarkara, 1966:164). Dalam bahasa modern dikenal kata Psychology atau ilmu jiwa. Karena masalah jiwa adalah masalah yang ghaib atau abstrak maka psikologi bukan membicarakan keadaan jiwa itu secara langsung tetapi mempelajari sikap dan perilaku sebagai ekspresi dari keadaan jiwa yang ada. (Uman, 1998 : 8)
Pembahasan tentang psikologi semakin ramai dengan hadirnya tokoh Sigmund Freud yang memproklamasikan psikoanalisis. Jika orang menyelidiki kejiwaan, maka ternyatalah bahwa dasarnya jauh lebih dalam dari dugaan orang. Dasar ini bukan kesadaran karena masih ada lagi dasarnya yang lebih mendalam yang tidak dapat disadari dan disebut ketidak sadaran. Kalau ketidaksadaran ini diselidiki lebih lanjut, bertemulah orang dengan cenderung umum yaitu dorongan organisme yang tak tertahan, untuk mencari kepuasan. (Poedjawijatna, 1990 : 169).
Menurutnya, yang “ tak sadar “ itu terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran perasaan kecemasan, harapan, kebutuhan, bayangan yang terus menerus disingkirkan dari kesadaran sehingga hal-hal tersebut tidak dapat diingat lagi secara langsung-bahkan keberadaan hal-hal itu diingkari (Kirsner, 2005 : 181).
Pembahasan tentang jiwa juga menjadi salah satu topik yang sering dibicarakan para filosuf termasuk para filosuf yunani, filosuf muslim maupun filosuf barat.
Tentang pembicaraan para filosuf Yunani perihal “ jiwa “, Ahmadi (1982 : 146) membuat penggolongan :
- Golongan materialisme mengatakan bahwa jiwa tidak lain hanya jiwa (badan), dan tidak ada sifat –sifat khusus padanya.
- Golongan spiritualisme menganggap bahwa jiwa tidak berasal dari alam kebendaan tetapi dari alam ke-Tuhanan dan memepunyai kekuatan ke-Tuhanan-Rohani yang turun kebawah dari alam yang tinggi.
- Ada yang berpendapat tengah – tengah dan menganggap jiwa sebagai campuran antara badan dengan roh atau uap yang panas seperti yang dikatakan orang-orang Stoa atau jiwa itu gambaran badan seperti pendapat Aristoteles dan pengikut – pengikutnya.

Ikhwal jiwa manusia, sebagaimana lazimnya kaum neoplatonis yang lain, Ibnu Arabi membedakan antara jiwa manusia yang rasional dan jiwa binatang yang irasional. ( Fakhry, 2002 : 95). Perihal hubungan jiwa dan jasad al-Ghazali berpendapat bahwa jiwa merupakan inti hakiki manusia, dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaanm, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik. (Nasution, 2005 : 91). Menurut al-Ghazali jiwa memiliki kemampuan berupa daya khayal (takhayyul), yaitu penggambaran atau representasi, daya simpan atau retensi (tahaffuzh), daya ingat (tadzakkur) dan sensus communis (al-hiss al-musytarak). Semua daya ini juga ditemukan pada hewan-hewan. Adapun daya yang khas ada pada jiwa manusia, yaitu daya pencapai pengetahuan yakni akal. (Nasution, 2005 : 91). Menambah informasi pandangan al-Ghazali tentang jiwa, Majid Fakhry (2002 : 91) menulis :
Analisis tantang daya kognitif manusia, yang oleh al-Ghazali secara umum disebut jiwa, menunjukkan bahwa semuanya berawal dari pengalaman indriawi dan imajinasi. Dari situ jiwa akan memuncak pada akal yang bersifat intuitif dan deduktif yang oleh al-Ghazali disebut reflektif

Ibnu sina berpendapat jiwa itu baru terjadi dengan terjadinya badan, namun jiwa itu tidak musnah dengan musnahnya badan. (Ahmadi, 1982 : 90). Akal adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Jiwa lebih bersifat umum dari pada akal. “ Jiwa itu baru dinamakan jiwa, jikalau ia bertindak dalam tubuh. Kalau ia bertindak terpisah maka jiwa itu lebih banyak merupakan akal “ (Ibnu Sina dalam Hoesin, 1964 : 139) Sedangkan happy ending jiwa terletak pada, “hubungan langsungnya” dengan intelek aktif, yaitu memampukannya mempersepsi keindahan dan kebaikan alam kaweruhan. Pada saat itulah, menurut Ibnu Sina, kebahagiaan sejati jiwa tercapai. (Fakhry, 2002 : 62)
Dari filosuf barat, senada dengan al-Ghazali, menurut Bacon, jiwa manusia mempunyai kemampuan triganda yaitu ingatan (memoria), khayal (imagination), dan akal (ratio). Ketiganya merupakan dasar bagi pengetahuan. (Muslih, 2006 : 89)
Pembahasan tentang jiwa banyak juga dilakukan dalam kajian tasawuf terutama tasawuf falsafi. Al-Tasawwuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam. Tujuan dari mistisisme, baik yang di dalam maupun yang di luar Islam ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. (Nasution, 1979 : 71). Sedangkan Majid Fakhry (2002 : 84) berpendapat :
Mistisime dapat dianggap sebagai desakan dalam sukma manusia untuk merengkuh yang tak terbatas. Bentuknya bisa berupa kedekatan spiritual (communion) atau persatuan intelektual, sebagaimana dalam neoplatonisme. Atau melalui iluminasi fisioner (muksyafah atau isyraq), sebagaimana dalam mistisisme Islam yang moderat. Atau melalui peniadaan identitas diri (fana’), sebagaimana dalam Hinduisme dan Sufisme yang ekstrim.

Transmisi Keilmuan
Dalam kamus ilmiah populer (Partanto dan al-Barry,1994 : 759), transmisi adalah :
Pemindahan, pengiriman, penyerahan, penerusan (aliran listrik, siaran dsb), bagian dalam kendaraan bermotor yang berfungsi memindahkan atau meneruskan tenaga dari mesin ke as belakang, pelangsungan (siaran dsb).

Yang dimaksud transmisi keilmuan dalam makalah ini adalah pemindahan, penyerahan, atau penerusan ilmu, pengetahuan, kebiasaan dan ketrampilan dari pendidik ke peserta didik
Agar transmisi keilmuan bisa berjalan optimal, al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat pendidik yang harus dipenuhi :
Syarat pendidik yang patut sebagai pengganti rasulullah adalah hendaknya ia alim, tetapi tidak setiap yang alim patut sebagai pengganti. Saya jelaskan padamu sebagai tanda-tandanya secara global sehingga tidak setiap orang bisa mengklaim diri sebagai mursyid. Maka saya katakan : Syarat-syarat itu ialah orang yang berpaling dari cinta dunia dan pangkat, ia mengikuti guru yang memilki pandangan batin dengan sanad bersambung hingga ke Rasulullah SAW, melatih jiwanya dengan sedikit makan, bicara, tidur dan memperbanyak shalat, shadaqah dan puasa.(al-Ghazali: 14)

Sementara Hafidz Hasan al-Mas’udi dalam kitab “ Taisair al-Khalaq” menyatakan :

“ Maka disyaratkan hendaknya seorang pendidik memiliki sifat-sifat yang terpuji karena jiwa murid itu lemah dibandingkan dengan jiwa pendidik. Ketika seorang pendidik memiliki sifat-sifat yang sempurna maka murid yang dibimbing juga akan demikian halnya”. ( Al – Mas'udi : 5 )

Al-Mas’udi tampaknya, menyamakan perbedaan posisi jiwa murid dan pendidik dengan perbedaan posisi dua tempat yang berbeda ketinggiannya, sehingga air bisa mengalir, karena sifat dasar air adalah mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika air adalah permisalan dari sesuatu yang harus ditransmisikan, tempat yang rendah adalah permisalan dari murid, maka pendidik dimisalkan dengan tempat yang tinggi. Jika pendidik penuh dengan sifat-sifat terpuji maka yang tertransmisikan kepada murid adalah sifat-sifat yang terpuji pula.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh al-Ghazali tentu perlu didiskusikan bila diterapkan apa adanya di zaman sekarang, meskipun dalam persentase tertentu masih dilaksanakan di dunia pesantren dimana memang pemikiran al-Ghazali memiliki pengaruh kuat. Sementara di lembaga pendidikan sekolah syarat-syarat tersebut amat sulit atau bahkan mustahil untuk diterapkan. Ada baiknya pemikiran-pemikiran ulama terdahulu diambil substansinya kemudian diterapkan pada masa kini dengan bentuk berbeda tetapi berjiwa sama.
Faktor psikologi siswa juga sangat penting untuk diperhatikan, ini disebabkan kejiwaan yang jelek pada siswa akan berpengaruh terhadap minat belajar mereka. Padahal pengaruh minat belajar sangat besar terhadap prestasi belajar siswa. Minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk memberikan perhatian dan bertindak terhadap orang, aktifitas atau situasi yang menjadi minat tersebut dengan disertai perasaan senang. (Shaleh dan Wahab, 2004 : 262 – 263). Diantara yang mempengaruhi timbulnya minat ada yang bersumber dari dalam diri yang bersangkutan semisal pengalaman dan kepribadian, ada yang berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Crow and crow (dalam Shaleh dan wahab, 2004 : 264) berpendapat ada tiga hal yang menjadi faktor timbulnya minat :
- Dorongan dari dalam individu, misal dorongan untuk makan, ingin tahu dan sex. Dorongan ingin tahu akan membangkitkan minat untuk membaca, belajar, menuntut ilmu, melakukan penelitian dll.
- Motif sosial dapat menjadi faktor yang membangkitkan minat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu misalnya minat terhadap pakaian timbul karena ingin mendapat persetujuan atau penerimaan dan perhatian orang lain.
- Faktor emosional, minat mempunyai hubungan erat dengan emosi. Bila seseorang mendapat kesuksesan akan menimbulkan perasaan senang dan akan memperkuat minat, sebaliknya kegagalan akan menghilangkan minat.
Shaleh dan Wahab (2004 :269) mendata beberapa hal untuk mengetahui minat belajar dikaitkan dengan faktor yang mempengaruhi prestasi dan proses belajar :
1. Yang berhubungan dengan keadaan individu yang belajar, pada perhatiannya, motifnya, cita-citanya, perasaannya di waktu belajar, kemampuannya, waktu belajarnya, dll.
2. Yang berhubungan dengan lingkungan dalam belajar, dapat diketahui dari hubungan dengan teman-temannya guru-gurunya, keluarganya, orang lain disekitarnya dll.
3. Yang berhubungan dengan materi pelajaran dan peralatannya, ini dapat diketahui dari catatan pelajarannya, buku-buku yang dimiliki atau yang pernah dibacanya, perlengkapan sekolahnya serta perlengkapa-perlengkapan lain yang diperlukan untuk belajar.

Pengalaman membuktikan bahwa siswa yang bermasalah di sekolah, sebagian besar karena memiliki latar belakang keluarga yang juga bermasalah, bisa karena perceraian kedua orang tua atau pola pendidikan di rumah yang salah. Hal ini menyebabkan kondisi kejiwaan siswa terganggu untuk dapat menerima transmisi keilmuan dengan baik. Meskipun keluarga dan sosial merupakan faktor di luar siswa tetapi pengaruhnya sangat krusial bagi berhasil tidaknya transmisi keilmuwan. Djamarah mendata factor penyebab kesulitan belajar yang timbul dalam keluarga :
a. Kurangnya kelengkapan alat – alat belajar.
b. Kurangnya biaya pendidikan yang disediakan orang tua.
c. Anak tidak mempunyai ruang belajar khusus di rumah.
d. Ekonomi keluarga terlalu lemah atau terlalu tinggi.
e. Kesehatan keluarga yang kurang baik.
f. Perhatian orang tua yang tidak memadahi.
g. Kebiasaan dalam keluarga yang tidak menunjang.
h. Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan.
i. Anak yang terlalu banyak membantu orang tua.
(Djamarah, 2002 : 207 – 209)
Sedangkan kondisi social yang sering berpengaruh bagi kejiwaan siswa adalah bila timbul keributan, pertengkaran, masalah narkoba, munculnya kelompok – kelompok gang dan terjadinya konflik sosial berbau SARA. Ini disebakan karena siswa adalah juga anggota masyarakat, dia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan social. Sistem sosial yang terbentuk mengikat perilaku anak didik untuk tunduk pada norma – norma sosial, susila dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Paradigma baru pendidikan
Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Unsur manusiawi lainnya adalah anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam proses interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda. Guru yang mengajar dan mendidik dan anak didik yang belajar dengan menerima bahan pelajaran dari guru di kelas. Guru dan anak didik berada dalam koridor kebaikan. Oleh karena itu, walaupun mereka berlainan secara fisik dan mental, tetapi mereka tetap seiring dan setujuan untuk mencapai kebaikan akhlak, kebaikan moral, kebaikan hukum, kebaikan sosial dan sebagainya (Djamarah, 2002 : 73)

Teori Generative Learning yang dikemukakan oleh Witrock ( dalam Wibowo : 2005 ) memiliki asumsi bahwa peserta didik bukan penerima informasi yang pasif, melainkan aktif berpartipasi dalam proses belajar dan dalam mengkonstruksikan makna dari informasi di sekitarnya. Adalah sangat penting bagi pengajar untuk meminta para peserta didik to generate menghasilkan sendiri makna dari informasi yang diperolehnya. Model generative learning memiliki 4 komponen, yaitu : proses motivasi, proses belajar, proses penciptaan pengetahuan, proses generasi. (Wibowo, 2005 : 11)
Hubungan antara siswa dan guru dalam paradigma pendidikan modern menempatkan posisi guru lebih berperan sebagai fasilitator dan bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan demikian sifat angker, menakutkan, mau menang sendiri dan semacamnya sudah tak layak lagi dimiliki seorang guru. Guru ideal masa sekarang di antaranya adalah bila punya sifat terbuka, ramah dan mampu berperan sebagai semacam sahabat bagi para siswa.
Guru harus mampu mengubah strategi pembelajaran yang berlandaskan paradigma teaching menjadi strategi pembelajaran kreatif berlandaskan paradigma learning. paradigma learning terlihat dalam 4 visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO. Ke 4 visi pendidikan ini sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Paradigma belajar yang oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki abad ke-21 hakekatnya merupakan pendekatan belajar yang telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh pemikir pendidikan sejak permulaan abad ke-20. pendekatan ini demikian berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, terutama sejak ketertinggalan Amerika Serikat dalam teknologi ruang angkasa Uni Soviet pada tahun 1957. (Wibowo, 2005 : 11)

Menurut De Decce dan Grawford (dalam Djamarah, 2002 : 135) ada empat fungsi guru sebagai pengajar yang berhubungan dengan cara pemeliharaan dan peningkatan belajar anak didik yaitu guru harus dapat menggairahkan anak didik, memberikan harapan yang realistis, memberikan intensif dan mengarahkan perilaku anak didik ke arah yang menunjang tercapainya tujuan pengajaran.

Frend W, Hard (dalam Djamarah, 2002 : 71 – 72) mengemukakan sepuluh sikap guru yang disenangi anak didik hasil survey terhadap 3.725 siswa :
1. Suka menolong pekerjaan sekolah dan menerangkan pelajaran dengan jelas dan mendalam serta menggunakan contoh – contoh yang baik dalm mengajar.
2. periang dan gembira, memiliki perasaan humor dan suka menerima lelucon atas dirinya.
3. bersikap bersahabat, merasa sebagai seorang anggota dalam kelompok kelas.
4. menaruh perhatian dan memahami anak didiknya.
5. berusaha agar pekerjaan menarik, dapat membangkitkan keinginan – keinginan bekerjasama dengan anak didik.
6. tegas, sanggup menguasai kelas dan dapat membangkitkan rasa hormat pada anak didik.
7. tidak ada yang lebih disenangi, tak pilih kasih dan tak anak emas atau anak tiri.
8. tidak suka mengomel, mencela dan sarkastis.
9. anak didik benar – benar merasakan bahwa ia mendapatkan sesuatu dari guru.
10. mempunyai pribadi yang dapat diambil contoh dari pihak anak didik dan masyarakat lingkungannya.
Penutup
Betapa factor psikologis sangat diperhatikan dalam Islam, nampak pada dimakruhkannya orang hendak melakukan sholat dalam kondisi menahan hajat dan dilarangnya hakim memutuskan perkara dalam kondisi kejiwaan yang labil. Begitu pula guru maupun murid hendaknya melaksanakan aktifitas transmisi keilmuan dalm kondisi jiwa yang normal. Dengan demikian gangguan terhadap psikologi secepat mungkin hendaknya diselesaikan. Sudah tidak zamannya seorang guru membawa problem rumah tangganya ke sekolah, begitu pula tidak baik seorang siswa hilang minat belajarnya karena masalah asmara, meskipun hal – hal seperti di atas manusiawi sekali. Syaikh Ibnu Atho’illah dalam hikam menyatakan :
“ Bagaimana hati itu dapat memancarkan cahaya padahal dalam hatinya terlukis semua gambar – gambar ( selain Allah ), atau bagaimana orang dapat berangkat menghadap kepada Allah, padahal ia selalu terikat oleh syahwat (keinginan) atau bagaimana orang dapat mempunyai keinginan kuat agar dapat masuk ke hadirat Allah, padahal hatinya belum suci dari janabah kelalaiannya atau bagaimana bisa berharap agar mengerti terhadap rahasia – rahasia yang halus, padahal ia belum bertaubat untuk menebus kesalahan – kesalahannya.( Labib : 145 )




DAFTAR PUSTAKA

- Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Cetakan I, CV. Toha Putra, Semarang, 1982.

- Al – Ghazali, Al – Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ayyuha al-Walad, Muhammad ‘Utsman, Petok I/5 Mojo, Kediri, 64162.

- Al – Mas’udi, Hafidz Hasan, Taisir al-Khalaq Fi ‘Ilmi al-Akhlaq, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladihi, Bi Surabaya, Indonesia.

- Al-Qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama RI., CV. Samara Mandiri, Jakarta,1999

- Djamarah, Syaful Bahri, Psikologi Belajar, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

- Drijarkara, Pertjikan Filsafat, Cetakan II, PT. Pembangunan Djakarta, 1966

- Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Terjemah oleh Zaimul Am Cetakan II, Penerbit Mizan, Bandung, 2002.

- Fudyartanto, Ki RBS, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan baru, Cetakan I, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002

- Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Cetakan II, NV. Bulan Bintang, Djakarta, 1964.

- Kirsner, Douglas “ Sigmund Freud “ Dalam Peter Beilharz (Ed.). 2005, Teori – teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Terjemah oleh Sigit Jatmiko, Cetakan III, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

- Labib Mz., Hakikat Ma’rifat, Bintang Usaha Jaya, Surabaya, tanpa tahun.

- Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan III, Belukar, Yogyakarta, 2006.

- Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.

- Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Cetakan IV, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2005.

- Partanto, Pius dan al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994.

- Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Cetakan VIII, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

- Shaleh, Abdul Rahman, Wahab, Muhbib Abdul, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Cetakan I, Kencana, Jakarta, 2004

- Uman, Cholil, Ikhtisar Psikologi Pendidikan, Cetakan I, Duta Aksara, Surabaya, 1998.

- Weber, Max, Etika Protestan & Spirit Kapitalisme, Terjemah oleh TW. Utomo, Yusup Priya Sudirja, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

- Wibowo, Mungin Edi, 2005, Building Creative Teaching and Learning, Makalah pada National Congres & Business Forum 2005.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS